Pergeseran Makna Sosialita dan Kemunculan Social Climber

Written by:

Hasil gambar untuk sosialita kartun

Sumber gambar : kemanaajaboleeh.com

Kemunculan fenomena sosialita sebenarnya bukanlah hal yang baru di Indonesia, bahkan fenomena ini sudah ada sejak zaman kolonialisme Belanda . Sosialita dianggap sebagai gejala masyarakat kota yang lahir akibat globalisasi. Mendengar kata “ sosialita” kerap kali pikiran kita terbayang sekelompok orang yang berpaikaian glamour , hobi belanja barang mewah ,dan senang berfoya- foya . Fenomena yang berkembang menjadi tren ini tidak lepas dari peran sosial media . Misalnya kemunculan Geng Jedar, Nia Ramadhani dan kawan- kawannya yang selalu berfoto berbalut kemewahan di instagram akhir- akhir ini menjadi perbincangan netizen. Tak jarang berbagai media massa melabeli Girls Squa  ini sebagai kaum sosialita. Pun dalam kehidupan sehari- hari secara tidak sadar kita acap kali menyebut teman sejawat kita yang hobi pergi ke mall sebagai bagian dari kaum sosialita. Lantas, apa pengertian dan makna sosialita yang sebenarnya? Bagaimana mereka terbentuk?

            Kata sosialita sebenarnya berasal dari kata bahasa inggris yaitu socialite, yang merupakan akronim dari kata social dan elite. Social yang berarti menjalin hubungan kemasyarakatan dan elite yang berarti kelompok orang yang terpandang atau berderajat tinggi. Dari artikel milik David Patrick & Jeffrey Hirsch yang berjudul Socialites : A History, kemunculan istilah sosialita pertama kali di dunia ada pada negara Amerika Serikat dan Amerika Selatan. Pada masa tersebut dua tempat penting kemunculan istilah sosialita adalah Park Avenue dan The Nort Shore of Long Island. Pada tahun 1929 Amerika mengalami kehancuran ekonomi atau yang disebut dengan Stock Market Crash of 1929, dimana ini merupakan sebuah peristiwa jatuhnya bursa saham di Amerika, bahkan menjadi peritiwa jatuhnya bursa saham Amerika yang terbesar sepanjang sejarah. Kejadian ini sekaligus menjadi gejala bahwa Amerika akan mengalami Great Depression.Peristiwa ini kemudian menyebabkan dibuatnya peraturan- peraturan hukum mengenai finansial dan perdagangan. Di era ini munculah kafe- kafe mewah di Amerika atau dikenal dengan istilah Cafe Society pada waktu itu. Kafe- kafe mewah ini sering didatangi oleh orang- orang elit ketika malam tiba untuk sekedar berbincang- bincang sebab pada masa itu kecil kemungkinan masyarakat kecil bisa pergi ke kafe mewah. Situasi kehancuran ekonomi menyebabkan terjadi phk dimana mana yang meyebabkan angka pengangguran meningkat sangat pesat . Orang- orang inilah yang kemudian disebut- sebut sebagai sebagai kaum sosialita pada waktu itu.

Berbeda dengan Amerika, Eropa di masa yang sama juga ada kelompok elit yang mewarnai perkembangan sosial pada saat itu, namun istilah sosialita ini belum populer . Tapi bukan berarti gaya hidup ala sosialita seperti Amerika tidak ada, gaya hidup seperti ini ada akan tetapi hanya dilakukan oleh keturunan bangsawan. Sosialita di Eropa lebih dikenal sebagai orang – orang yang berasal dari kaum bangsawan dan melakukan aktivitas sosial untuk membantu masyarakat. Contoh terkenal dari sosialita Inggris termasuk Beau, Lord Alvanley, Marchioness of Londonderry, Daisy, Princess of Pless,. Kalaupun ada sosialita yang bukan berasal dari golongan bangsawan Inggris, ia pasti memiliki koneksi dengan kaum bangsawan. Sosialita ala Eropa ini ditiru oleh seorang American Philantropist terkenal bernama Roberta Brooke Astor, seorang kaya raya dari keluarga Astor yang memiliki gaya hidup elit tapi juga seorang dermawan kepada sesama. Pengaruhnya membawa keragaman makna dari sosialita.

 

Kemunculan Sosialita di Indonesia

Munculnya gaya hidup ala kaum sosialita di Indonesia tidak lepas dari pengaruh kolonialisme Belanda, namun pada saat itu disebut sebagai “nyonya elit”. Pada masa awal pembentukan koloni, kehidupan para pegawai VOC masih sederhana, belum ada fasilitas untuk bersosialisasi seperti teater dan rumah makan. Namun, kehidupan berubah pada pertengahan abad 17, kehidupan menjadi lebih mapan dan makmur. Maria van Aelst,  istri dari gubernur VOC Antonio Van Diemen  yang menjabat dari tahun 1636-1645 mempelopori gaya hidup mewah dengan seringnya menyelenggarakan pesta. Kemudian fenomena ini semakin menjamur di kalangan nyonya-nyonya elit di Batavia[1]. Bahkan ada sebuah tempat yang bernama Sociteit Harmonie yaitu gedung pesta sosialita Eropa di Batavia. Kaum pribumi menyebutnya dengan “Rumah Bola” dan pada saat itu karena hanya orang-orang eropa dari kelas atas, pejabat, pengusaha dan priyayi yang boleh menjadi anggota perkumpulan eksekutif ini.

Gereja juga menjadi tempat para perempuan elite itu memamerkan kemewahan yang mereka punyai, namun kebiasaan itu bukanlah bawaan kaum borjuis di Belanda tapi lebih kepada pengaruh budaya Asia dan Portugis. De Graff dalam karyanya Oost-Indische Spigel mengatakan nyonya- nyonya elit beribadah di gereja Kruiskerk[2] sebagai ajang pamer status sosial. Para nyonya pada saat itu berpakaian serba mewah, menggunakan perhiasan, diiringi dengan budak yang membawa kotak sirih, tempolong untuk meludah, kipas serta patung. Di acara kebaktian mereka mendapat tempat duduk terhormat dan seringkali mengobrol sambil menyirih seakan tidak memperhatikan pendeta. Pihak gereja pun enggan menegur mereka karena jika dilarang gereja tidak memperoleh sumbangan dari para istri pejabat itu.

Jean Gelman Taylor dalam buku The Social World of Batavia mengungkapkan kritikan dari Graff yang berbunyi

This little ladies in general, Dutch but also Half-Castes, and especially Batavia…..let         themselves be waited on like princess, and some havemany slaves, men and women in       their service who must watch over them like guard dogs night and day………..and        they are so lazy that they will not lift a hand for anything, not even a straw on the     floor close to them, but they call at once for one of their slaves to do it, and if they do  not come quickly they are abused”[3].

          

Gaya hidup ala sosialita Amerika pada zaman VOC cenderung dilakukan oleh orang Eropa, jarang warga pribumi. Bahkan pribumi kali itu menjadi budak. Namun, berbeda dengan zaman orde baru dimana pada masa inilah kemunculan sosialita untuk orang Indonesia. Veven Sp Wardhana, Pengamat budaya dalam Tempo 15/04/2013 mengatakan bahwa  kemunculan sosialita pada masa orde baru era Presiden Soeharto, sebagai dampak kemakmuran. Pada masa itu, sejumlah pengusaha meraup kesuksesan di atas rata-rata. Namun, kala itu keberadaan sosialita belum terendus dan cenderung tertutup terhadap publik.  Identitas khusus yang melekat adalah mereka dari kalangan glamor, punya profesi mentereng, hingga hobi rumpi.

Pengenalan masyarakat akan makna sosialita saat ini nampaknya hampir sama dengan sosialita pada masa orba, dimana sosialita dipahami hanya sebatas orang yang hobi belanja ,menggunakan barang mewah dan sering bepergian ke tempat elit.Bedanya sosialita saat ini cenderung lebih terbuka terhadap publik bahkan hobi update di sosial media. Jika kita mendefinisikan makna sosialita ala masyarakat saat ini mungkin kita mendapatkan ciri- ciri sebagai berikut : Pertama, dari kelas sosial mereka bukanlah golongan kelas bawah, tetapi golongan kelas menengah sampai kelas atas yang sangat kaya. Kedua, kegiatan yang dilakukan biasanya berupa arisan (cenderung dilakukan oleh ibu- ibu, mulai dari arisan uang, barang, perhiasan hingga brondong), nongkrong di cafe elit (cenderung dilakukan oleh remaja rentang usia 15- 23 tahun). Ketiga, hobi pergi keluar negeri dan yang terakhir gemar menggunakan barang mewah bahkan hingga harganya mencapai ratusan juta.  Robert L. Peabody mendefinisikan sosialita sebagai seseorang yang berpartisipasi dalam aktivitas sosial dan menghabiskan sebagian banyak waktunya untuk menghibur sekaligus mendapatkan hiburan[4]. Sedangkan, Inti Subagio mengatakan bahwa sosialita  dimulai dari keluarga kerajaan di Eropa yang selalu mendapatkan perlakuan VVIP yang  harus memiliki prestasi dari segi sosial seperti memiliki yayasan. Lain lagi dengan Jennifer Gromada yang mendefinisikan sosialita sebagai orang dengan kemampuan intelegensia yang tinggi dan terpelajar[5]. Ia memberi contoh seperti Mary Borden yang merupakan filantropis yang murah hati, perawat pemberani, dan penulis yang produktif .Terlepas dari banyaknya definisi yang dikemukakan oleh tokoh, terdapat adanya kesamaan yang dimaksud yakni orang dengan kelas sosial tertentu yaitu elit yang berkecimpung dengan kegiatan sosial. Jika merujuk pada pengertian tersebut maka jelas orang yang sekedar memiliki gaya hidup glamour tidak bisa dikatakan sebagai sosialita. Nyonya elit pada masa kolonial Belanda mungkin bisa dikatakan sebagai sosialita jika merujuk pada makna sosialita saat ini, tapi tidak bisa dikatakan sebagai sosialita jika merujuk pada definisi tokoh tersebut, sama halnya dengan Girls Squad ala Nia Ramadhani yang tidak bisa langsung kita labeli sebagai kaum sosialita.

Sosialita dan Social Climber

Suka atau tidak, sosialita tetap merupakan bagian dari masyarakat yang eksis hingga sampai saat ini, bahkan eksistensinya mempengaruhi munculnya social climber. Jika merujuk pada makna sosialita saat ini, social climber atau pemanjat sosial adalah orang yang mencoba untuk mengikuti gaya hidup para sosialita apapun caranya agar mereka bisa diakui dan diterima dikalangan masyarakat kelas atas. Social climber disebut- sebut sebagai anak tiri dari kemunculan sosialita. Fenomena ini muncul karena masyarakat mengangungkan status sosial. “ Gayanya sosialita, uangnya nggak ada” penggalan lirik lagu Roy Ricardo, Gaga Muhamad, dan Lula Lahfah yang sempat tren ini mungkin cukup menggambarkan ciri social climber dalam konteks gaya hidup, karena menurut penulis tidak semua social climber berkonotasi negatif.

Menurut Baudrillard, pola konsumsi masyarakat yang modern ditandai dengan bergesernya tujuan konsumsi yang seharusnya sesuai kebutuhan hidup kini menjadi gaya hidup. Berubahnya makna sosialita dan munculnya social climber juga dipengaruhi oleh sistem kapitalisme yang memaksa mereka untuk mengubah tujuan konsumsi tersebut. Pola konsumsi ada pada akhirnya hanya terpaku pada merk dibanding pada nilai guna dari barang tersebut dan masyarakat cenderung melakukan konsumsi simbol. Manusia ingin dianggap keberadaannya dan diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari lingkungan tersebut. Kebutuhan manusia untuk diterima dan menjadi sama dengan orang lain menjadikan manusia untuk selalu menggunakan atribut yang sedang populer.

Terlepas dari adanya pro kontra tentang keberadaan sosialita ataupun social climber,kelompok- kelompok ini sebenarnya bisa saja dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain. Simplenya, mereka adalah kelas yang memiliki uang yang butuh identitas dan haus eksistensi. Melibatkan mereka dalam kegiatan sosial seperti membuat yayasan, santunan, bakti sosial dan lain sebagainya yang penuh dengan sorotan media adalah salah satu cara memanfaatkan sosialita untuk tujuan yang positif.

 

Catatan akhir :

[1] . Batavia adalah nama yang diberikan oleh orang Belanda pada koloni dagang yang sekarang tumbuh menjadi Jakarta, ibu kota Indonesia.

[2] . Kruiskerk adalah gereja Kristen pertama di Batavia.

[3] Taylor, J. G. (1983). The Social World of Batavia (European and Eurasin in Dutch Asia). Madison: The University of Wisconsin Press.hlm 41

[4] . Anonim (2011), What is a socialite?, Town and Country, Vol. 165, hal. 124, Hearst Magazines, a Division of Hearst Communications, Inc., New York

[5] . Gromada, Jennifer (2009), Introduction, Modernism/Modernity, Vol. 16 No. 3, hal. 599-600, Johns Hopkins University Press, Baltimore.

 

Daftar Pustaka :

Buku

Ritzer, G., & Goodman, J. D. (2012). Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Bantul: Kreasi Wacana.

Taylor, J. G. (1983). The Social World of Batavia (European and Eurasin in Dutch Asia). Madison: The University of Wisconsin Press.hlm 41.

Jurnal :

Anonim (2011), What is a socialite?, Town and Country, Vol. 165, hal. 124, Hearst Magazines, a Division of Hearst Communications, Inc., New York.

Gromada, Jennifer (2009), Introduction, Modernism/Modernity, Vol. 16 No. 3, hal. 599-600, Johns Hopkins University Press, Baltimore.

Website :

Socialites: A History diakses di http://www.newyorksocialdiary.com/social-diary/2007/socialites-a-history pada 30 April 2017

Sosialita Sudah Ada Sejak Zaman Orba diakses di https://m.tempo.co/read/news/2013/04/26/108476151/sosialita-sudah-ada-sejak-zaman-orba pada 30 April 2017

What is a socialite? A look into the world of the ‘It Girl’ diakses di http://metro.co.uk/2017/02/10/what-is-a-socialite-a-look-into-the-world-of-the-it-girl-6440593/ pada 30 April 2017

 

 Pondok Gede, 8 Mei 2017

Mega Mulianisa

Leave a comment